Jumat, 06 Juli 2012

Mulla Shadra

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.            Latar Belakang
Mulla Shadra bukanlah filsuf yang terkenal selama enam abad terakhir. Bagi sebagian orang ia telah dianggap setara dengan Ibn Sina dan Al-farabi, ia menguasai semua madzhab filsafat di zamannya, ia juga mengkritik semua titik lemah yang disuguhkan oleh filsuf besar sebelumnyadan mencoba menyajikan sejumlah pemecahan filosofis atas masalah-masalah tersebut. Adapun diantaranya empat pokok masalah kefilsafatan yang dibahas Mulla Shadra dalam karyanya:
1.      Berkenaan dengan teori pengetahuan atau epistemologi Mulla Shadra  membahas masalah pengetahuan dan hubugan yang diketahui serta yang mengetahui.
2.      Metafisika  mulla Shadra yang membahas masalah kesatuan transeden wujud (wahdah al-wujud)
3.      Gerakan subtansial
4.      Masalah jiwa, moral. 
           
1.2.            Rumusan Masalah
1.     Bagaimana biografi dari mulla Shadra?
2.     Apa saja karya dari Mulla Shadra?
3.     Apa saja filsafat Mulla Shadra?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Biografi
Tradisi asyraqi yang dikumandangkan oleh al-suhrawardi telah lama menjadi ciri khas tradisi filsafat Persia. Ketika fisafat memasuki reses di Timur Tengah akibat penindasan al-ghazali dan penaklukan Baghdad oleh tentara Mongol satu setengah abad setelahnya , ia mendapat darah segar di Persia, terutama setelah pemerintahan dinasti Shafawiyah. Syah ismail, yang mengaku keturunan keluarga sufi, mengambil kebijakan untuk menyebarluaskan keyakinan syi’ah keseluruh Persia.
Konsekuensi dari itu adalah bangkitnya study  filsafat dan teologi yang memang telah berkembang setelah pemerintahan Syah Abbas (1588-1629). Sejumlah  ilmuan  menjadi terkenal pada periode ini. Mir Damad dan Baha Al-Din al- amili adalah dua orang guru Shadr Al-Syirazi (1641) seorang yang dipandang sebagai filosof besar Persia modern dan yang lebih popular disebut Mulla Shadra.
            Mulla Shadra dilahirkan di Syiraz pada 1572, lalu pindah ke Isfahan sebuah kota pusat study yang penting pada masa itu. Disana Mulla Shadra berguru pada Mir Damad dan Mir abua Al-Qasim findereski (1640), lalu kembali lagi ke Syiraz untul menjadi dosen pada sebuah lembaga pendidikan tinggi di kota itu.  Konon mulla Shadra pernah melaksanakan ibadah haji dengan berjalan kaki sebanyak tujuh kali, dan wafat di Basrah sekambalinya dari menunaikan ibadah haji yang ketujuh pada 1641.

2.2. Sumbangan Karya Filsafat Mulla Shadra     
filsafat Mulla shadra sangatlah banyak. Ulasannya atas karya Al-suhrawardi, hikmah al-israq, al-abhari, al-hidayah fi al-hikmah, dan Ibn sina al-sifa’ bersanding dengan risalah-risalahnya tentang origination, resurrection (awal penciptaan dan hari akhir), predicating essence of existence, dan beberapa makalah singkatnya dalam tema-tema serupa. Namun, karya filsafatnya yang berpengaruh adalah Al-masya’ir (keperihatinan), kasr anam al-jahiliyah (menghancurkan arca-arca paganisme), dan “hikmah transedental”, yang lebih dikenal sebagai “empat pengembaraan” (al-asfar al-arba’ah).
            Dalam pendahuluan kitab al-asfar, mulla shadra menyesalkan sifat berpaling masyarakat muslim dari study filsafat. Pada hal prinsip-prisip filsafat yang dipadukan dengan kebenaran wahyu nabi adalah cermin nilai kebenara tertinggi. Dia menyeruakan keyakinannya tentang keharmonisan senpurna antara filsafat dan agama. menurutnya, keharmonisan itu menunjukan kebenaran tunggal yang dibawa oleh Adam. Dari adam kebenaran itu diturunkan kepada Ibrahim, kemudian para filosof Yunani, lalu para sufi dan akhirnya para filosof pada umumnya. Orang-orang yunani, tulisannya, semula menjadi penyembah binatang. Akan tetapi, dalam perjalanannya mereka mengambil filsafat dan teologi dari Ibrahim.

2.3. Filsafat Mulla Shadra
a.       Epistemologi
Filsafat pengetahuan mulla shadra dibagi menjadi dua
1). Bersifat teoritis, yang mengacu pada pengetahuan tentang segala sesuatu sebagaimana adanya. Perwujudan tercermin dalam dunia akali, termasuk jiwa didalamnya seperti yang di ungkapkan al-farabi dan ibn sina.
2). Bersifat peraktis, yang mengacu pada pencapaian kesempurnaan-kesempurnaan yang cocok bagi jiwa. Perwujudannya adalah mendekatkan diri kepada Tuhan.
Mulla shadra meyakini adanya titik temu antara filsafat dan agama sebagai kesatuan kebenaran yang dapat dibuktikan melalui mata rantai historis yang berkesinambungan dari adam sampai Ibrahim, orang yunani, para sufi islam (yang mengalami puncak pada masa Ibn’ Arabi), dan para filsuf.
            Bangunan epistemologi Mulla Shadra berkaitan erat dengan idenya tentang wahdah (unity), ashalah (principality), tasykik (gradation) dan ide perubahan substantif. Menurutnya wujud atau realitas itu hanyalah satu, Tuhan sendiri adalah wujud mutlak yang menjadi titik permulaan bidang eksistensi dimana mata rantai wujud bergerak secara konstan menuju titik permulaan itu. Gerak konstan vertical dalam sekal-sekal wujud itu disebut oleh Mulla shadra sebagai perubahan substantife menuju kesempurnanaan dan sebagian besar dicapai dengan pengetahuan. Yaitu perjalanan akal secara lengkap melalui tahap-tahap dari ketidak sempurnaan menuju Yang Maha Sempurna. Tahap-tahap ini dibagi menjadi empat perjalanan:
1.      Perjalanan pertama dari makhluk menuju hakekat kebenaran atau sang pencipta. Perjalanan ini menunjukan dari maqam nafsu, ke maqam hati, dari maqam hati ke maqam ruh dan dari maqam ruh menuju maqam terakhir atau tujuan tertinggi. Manakala manusia telah mencapai maqam terakhir berarti manusia telah menghadapkan wajahnya kepada keindahan kehadirat Tuhan  dan manusia fana di dalam-Nya.
2.      Perjalanan kedua dari hakikat ke hakikat dengan hakikat. Perjalanan dimulai dari maqam maqam Dzat menuju kamalat hingga akhir dalam keseempurnaan Tuhan. Seorang yang telah mencapai maqam ini, dzatnya, sifatnya dan perbuatannya fana dalam Dzat, Sifat dan Perbuatan Tuhan. Perjalanan ini berakhir sampai kedaerah kewalian, yang berarti perjalanan ketiga dimulai.
3.      Perjalanan ketiga adalah dari Hakikat kepada mahkluk dengan Hakikat. Setelah melalui maqam-maqam kefanaannya berakhir lalu ia kekal, dalam kekekalan Tuhan. Disini ia (salik) dapat mengecap nikmat kenabian meskipun ia bukan nabi dan memperoleh ilmu alam ketuhanan.
4.      Perjalanan keempat adalah dari makhluk ke makhluk dengan hakikat. Seorang salik mengamati makhluk kemudian menangkap kesan-kesan yang ada pada makhluk itu. Ia mengetahui kebaikan dan kejahatan makhluk, lahir batin di dunia ini dan di dunia yang akan datang.  Ia membawa ilmu yang dibutuhkan makhluk mengetahui mana yang membawa mudharat dan mana yang membawa manfaat, mengetahui mana yang membawa yang membahagiakan dan mana yang mencelakakan. Dalam kehidupannya ia senantiasa bersama yang Haqq karena wujudnya telah tepaut dengan Tuhan dan perhatiannya kepada makluk tidak mengganggu perhatiannya kepada Tuhan.

b.      Metafisika
1). Wujud
Menurut Mulla Shadra, wujud itu memiliki realitas yang sama dibidang eksistesi. Yang ada dalam realitas tunggal yang membedakan hanyalah intensitas tingkat. Seprti cahaya matahari, lampu atau kunang-kunang, tetapi subjeknya sama yaitu cahaya. Demikian pula halnya dengan wujud, wujud Tuhan, wujud manusia, wujud pohon dan sebagainya semuanya adalah satu wujud atau satu realitas.
 Dan lebih jauh lagi menurutnya dimanpun ia mewujudkan dirinya, selalu muncul dengan atribut-atributnya seperti pengetahuan, keinginan, dam kekuatan. Mulla Shadra membagi wujud menjadi dua: wujud terikat dan wujud bebas. Wujud terikat adalah yang menghubungkan sebuah subjek dengan sebuah predikat seperti “manusia adalah hewan rasional. Sedang wujud bebas adalah wujud yang tidak menunjukan adanya keterikatan  antara subjek dengan predikat.
Berkaitan dengan keabadian dunia dan kemustahilan kebangkitan jasmani (menurut Ibn Sina), Mulla Shadra menolak kedua tema tersebut. Tentang tema yang pertama menurut Shadra adalah bahwa semua filsuf kuno dari Hermes ke Thales, Phytagoras dan Aristoteles dengan suara bulat percaya bahwa dunia diciptakan dalam waktu. Satu-satunya realitas yang dapat mendahului waktu adalah Tuhan. Sebagai sebuah komponen dari alam semesta yang diciptakan maka tidak mungkinlah bagi waktu, ada sebelum perintah atau keputusan dari Tuhan. Baik dunia indrawi atau akali semua tunduk kepada  perubahan yang terus-meneru dan karena itu tidak bisa bersifat abadi.
2). Jiwa
            Mulla Shadra sebagimana Aristoteles, manakala jiwa itu tidak bersifat abadi dalam arti bermula maka jiwa itu tidak dapat dipisahkan dan tidak dapat berpisah dari materi. Jiwa bekerja di dalam materi melalui penghubung dengan daya-daya yang berada dibawahnya. Jadi, menurut Shadra jiwa adalah entelechy badan jasmaniah yang bekerja melalui fakultas-fakultas yang disebut organ, tetapi yang dimaksud Shadra bukanlah organ fisik seperti tangan, perut dan sebaginya, melainkan dengan fakultas-fakultas atau daya-daya yang dengan perantaranya jiwa dapat bekerja. Selanjutnya menurut Shadra jiwa itu bersandar kepada prinsip dasar yang disebut perubahan substantif.
 Pada umumnya jiwa itu bersifat jasmaniah, tetapi akhirnya bersifat spiritual selamanya artinya manakala jiwa itu muncul diatas landasan materi, bukanlah jiwa itu materi secara absolute. Tumbuh-tumbuhan meskipun ia bergantung kepada materi, tetapi tidak dapat sepenuhnya dikatakan sepenuhnya bersifat materi. Materi atau tubuh itu hanyalah instrument dan merupakan langkah pertama untuk berpindah dari alam materi menuju alam sepiritual. Baik jiwa manusia ataupun jiwa hewan sama-sama memiliki kemampuan untuk melepaskan diri dari badannya.

c.        Moral
            Agama islam diturunkan oleh Allah kepada manusia dengan tujuan untuk membimbing mereka memperoleh kebahagiaan tertingga dengan jalan menciptakan keseimbangan, baik tingkat individu maupun social. Hal ini mengandung arti bahwa manusia yang diciptakan oleh Dzat Yang Maha Sempurna, harus mengetahui cara mengaktualisasikan seluruh kemampuannya. Berkaitan dengan kebahagiaan ini menyatakan bahwa kebahagiaan itu tergantung kepada kesempurnaan jiwa dalam peoses inteleksi. Dan bahwa pengetahuan dalam mengalih bentuk orang yang tahu dalam proses trans-substansinya meuju kesempurnaan.
Menurut prinsip trens-substansi, substansi wujud di dunia itu mengalami transpormasi terus-menerus dengan menempatkan manusia sebagai pusat domain dunia. Berkaitan dengan keadilan (‘adalah), tidak dapat dipisahkan dengan konsep keseimbangan (i’tidal). Bagi Mulla Shadra, kedua konsep itu dikaitkan dengan puncak kesempurnaan jiwa manusia dan persoalan-persoalan etika di dalam filsafat, tasawuf. syari’ah dan sebaginya.

BAB III
PENUTUPAN

3.1. Kesimpulan
             Mulla Shadra merupakan seorang filsuf muslim yang cukup produktif, kreatif dan orisinal dengan karya-karya yang begitu banyak, mencakup berbagi bidang ditulis baik dengan bahasa Arab maupun bahasa Persia. Diantara pembahasan filsafat yang paling utamanya antara lain tentang  teori pengetahuan atau epistemologi Mulla Shadra  membahas masalah pengetahuan dan hubungan yang diketahui serta yang mengetahui, metafisika  mulla Shadra yang menbahas masalah kesatuan transeden wujud (wahdah al-wujud), Gerakan subtansial, Masalah jiwa, moral dan lain sebagainya.