Jumat, 06 Juli 2012

Mulla Shadra

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.            Latar Belakang
Mulla Shadra bukanlah filsuf yang terkenal selama enam abad terakhir. Bagi sebagian orang ia telah dianggap setara dengan Ibn Sina dan Al-farabi, ia menguasai semua madzhab filsafat di zamannya, ia juga mengkritik semua titik lemah yang disuguhkan oleh filsuf besar sebelumnyadan mencoba menyajikan sejumlah pemecahan filosofis atas masalah-masalah tersebut. Adapun diantaranya empat pokok masalah kefilsafatan yang dibahas Mulla Shadra dalam karyanya:
1.      Berkenaan dengan teori pengetahuan atau epistemologi Mulla Shadra  membahas masalah pengetahuan dan hubugan yang diketahui serta yang mengetahui.
2.      Metafisika  mulla Shadra yang membahas masalah kesatuan transeden wujud (wahdah al-wujud)
3.      Gerakan subtansial
4.      Masalah jiwa, moral. 
           
1.2.            Rumusan Masalah
1.     Bagaimana biografi dari mulla Shadra?
2.     Apa saja karya dari Mulla Shadra?
3.     Apa saja filsafat Mulla Shadra?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Biografi
Tradisi asyraqi yang dikumandangkan oleh al-suhrawardi telah lama menjadi ciri khas tradisi filsafat Persia. Ketika fisafat memasuki reses di Timur Tengah akibat penindasan al-ghazali dan penaklukan Baghdad oleh tentara Mongol satu setengah abad setelahnya , ia mendapat darah segar di Persia, terutama setelah pemerintahan dinasti Shafawiyah. Syah ismail, yang mengaku keturunan keluarga sufi, mengambil kebijakan untuk menyebarluaskan keyakinan syi’ah keseluruh Persia.
Konsekuensi dari itu adalah bangkitnya study  filsafat dan teologi yang memang telah berkembang setelah pemerintahan Syah Abbas (1588-1629). Sejumlah  ilmuan  menjadi terkenal pada periode ini. Mir Damad dan Baha Al-Din al- amili adalah dua orang guru Shadr Al-Syirazi (1641) seorang yang dipandang sebagai filosof besar Persia modern dan yang lebih popular disebut Mulla Shadra.
            Mulla Shadra dilahirkan di Syiraz pada 1572, lalu pindah ke Isfahan sebuah kota pusat study yang penting pada masa itu. Disana Mulla Shadra berguru pada Mir Damad dan Mir abua Al-Qasim findereski (1640), lalu kembali lagi ke Syiraz untul menjadi dosen pada sebuah lembaga pendidikan tinggi di kota itu.  Konon mulla Shadra pernah melaksanakan ibadah haji dengan berjalan kaki sebanyak tujuh kali, dan wafat di Basrah sekambalinya dari menunaikan ibadah haji yang ketujuh pada 1641.

2.2. Sumbangan Karya Filsafat Mulla Shadra     
filsafat Mulla shadra sangatlah banyak. Ulasannya atas karya Al-suhrawardi, hikmah al-israq, al-abhari, al-hidayah fi al-hikmah, dan Ibn sina al-sifa’ bersanding dengan risalah-risalahnya tentang origination, resurrection (awal penciptaan dan hari akhir), predicating essence of existence, dan beberapa makalah singkatnya dalam tema-tema serupa. Namun, karya filsafatnya yang berpengaruh adalah Al-masya’ir (keperihatinan), kasr anam al-jahiliyah (menghancurkan arca-arca paganisme), dan “hikmah transedental”, yang lebih dikenal sebagai “empat pengembaraan” (al-asfar al-arba’ah).
            Dalam pendahuluan kitab al-asfar, mulla shadra menyesalkan sifat berpaling masyarakat muslim dari study filsafat. Pada hal prinsip-prisip filsafat yang dipadukan dengan kebenaran wahyu nabi adalah cermin nilai kebenara tertinggi. Dia menyeruakan keyakinannya tentang keharmonisan senpurna antara filsafat dan agama. menurutnya, keharmonisan itu menunjukan kebenaran tunggal yang dibawa oleh Adam. Dari adam kebenaran itu diturunkan kepada Ibrahim, kemudian para filosof Yunani, lalu para sufi dan akhirnya para filosof pada umumnya. Orang-orang yunani, tulisannya, semula menjadi penyembah binatang. Akan tetapi, dalam perjalanannya mereka mengambil filsafat dan teologi dari Ibrahim.

2.3. Filsafat Mulla Shadra
a.       Epistemologi
Filsafat pengetahuan mulla shadra dibagi menjadi dua
1). Bersifat teoritis, yang mengacu pada pengetahuan tentang segala sesuatu sebagaimana adanya. Perwujudan tercermin dalam dunia akali, termasuk jiwa didalamnya seperti yang di ungkapkan al-farabi dan ibn sina.
2). Bersifat peraktis, yang mengacu pada pencapaian kesempurnaan-kesempurnaan yang cocok bagi jiwa. Perwujudannya adalah mendekatkan diri kepada Tuhan.
Mulla shadra meyakini adanya titik temu antara filsafat dan agama sebagai kesatuan kebenaran yang dapat dibuktikan melalui mata rantai historis yang berkesinambungan dari adam sampai Ibrahim, orang yunani, para sufi islam (yang mengalami puncak pada masa Ibn’ Arabi), dan para filsuf.
            Bangunan epistemologi Mulla Shadra berkaitan erat dengan idenya tentang wahdah (unity), ashalah (principality), tasykik (gradation) dan ide perubahan substantif. Menurutnya wujud atau realitas itu hanyalah satu, Tuhan sendiri adalah wujud mutlak yang menjadi titik permulaan bidang eksistensi dimana mata rantai wujud bergerak secara konstan menuju titik permulaan itu. Gerak konstan vertical dalam sekal-sekal wujud itu disebut oleh Mulla shadra sebagai perubahan substantife menuju kesempurnanaan dan sebagian besar dicapai dengan pengetahuan. Yaitu perjalanan akal secara lengkap melalui tahap-tahap dari ketidak sempurnaan menuju Yang Maha Sempurna. Tahap-tahap ini dibagi menjadi empat perjalanan:
1.      Perjalanan pertama dari makhluk menuju hakekat kebenaran atau sang pencipta. Perjalanan ini menunjukan dari maqam nafsu, ke maqam hati, dari maqam hati ke maqam ruh dan dari maqam ruh menuju maqam terakhir atau tujuan tertinggi. Manakala manusia telah mencapai maqam terakhir berarti manusia telah menghadapkan wajahnya kepada keindahan kehadirat Tuhan  dan manusia fana di dalam-Nya.
2.      Perjalanan kedua dari hakikat ke hakikat dengan hakikat. Perjalanan dimulai dari maqam maqam Dzat menuju kamalat hingga akhir dalam keseempurnaan Tuhan. Seorang yang telah mencapai maqam ini, dzatnya, sifatnya dan perbuatannya fana dalam Dzat, Sifat dan Perbuatan Tuhan. Perjalanan ini berakhir sampai kedaerah kewalian, yang berarti perjalanan ketiga dimulai.
3.      Perjalanan ketiga adalah dari Hakikat kepada mahkluk dengan Hakikat. Setelah melalui maqam-maqam kefanaannya berakhir lalu ia kekal, dalam kekekalan Tuhan. Disini ia (salik) dapat mengecap nikmat kenabian meskipun ia bukan nabi dan memperoleh ilmu alam ketuhanan.
4.      Perjalanan keempat adalah dari makhluk ke makhluk dengan hakikat. Seorang salik mengamati makhluk kemudian menangkap kesan-kesan yang ada pada makhluk itu. Ia mengetahui kebaikan dan kejahatan makhluk, lahir batin di dunia ini dan di dunia yang akan datang.  Ia membawa ilmu yang dibutuhkan makhluk mengetahui mana yang membawa mudharat dan mana yang membawa manfaat, mengetahui mana yang membawa yang membahagiakan dan mana yang mencelakakan. Dalam kehidupannya ia senantiasa bersama yang Haqq karena wujudnya telah tepaut dengan Tuhan dan perhatiannya kepada makluk tidak mengganggu perhatiannya kepada Tuhan.

b.      Metafisika
1). Wujud
Menurut Mulla Shadra, wujud itu memiliki realitas yang sama dibidang eksistesi. Yang ada dalam realitas tunggal yang membedakan hanyalah intensitas tingkat. Seprti cahaya matahari, lampu atau kunang-kunang, tetapi subjeknya sama yaitu cahaya. Demikian pula halnya dengan wujud, wujud Tuhan, wujud manusia, wujud pohon dan sebagainya semuanya adalah satu wujud atau satu realitas.
 Dan lebih jauh lagi menurutnya dimanpun ia mewujudkan dirinya, selalu muncul dengan atribut-atributnya seperti pengetahuan, keinginan, dam kekuatan. Mulla Shadra membagi wujud menjadi dua: wujud terikat dan wujud bebas. Wujud terikat adalah yang menghubungkan sebuah subjek dengan sebuah predikat seperti “manusia adalah hewan rasional. Sedang wujud bebas adalah wujud yang tidak menunjukan adanya keterikatan  antara subjek dengan predikat.
Berkaitan dengan keabadian dunia dan kemustahilan kebangkitan jasmani (menurut Ibn Sina), Mulla Shadra menolak kedua tema tersebut. Tentang tema yang pertama menurut Shadra adalah bahwa semua filsuf kuno dari Hermes ke Thales, Phytagoras dan Aristoteles dengan suara bulat percaya bahwa dunia diciptakan dalam waktu. Satu-satunya realitas yang dapat mendahului waktu adalah Tuhan. Sebagai sebuah komponen dari alam semesta yang diciptakan maka tidak mungkinlah bagi waktu, ada sebelum perintah atau keputusan dari Tuhan. Baik dunia indrawi atau akali semua tunduk kepada  perubahan yang terus-meneru dan karena itu tidak bisa bersifat abadi.
2). Jiwa
            Mulla Shadra sebagimana Aristoteles, manakala jiwa itu tidak bersifat abadi dalam arti bermula maka jiwa itu tidak dapat dipisahkan dan tidak dapat berpisah dari materi. Jiwa bekerja di dalam materi melalui penghubung dengan daya-daya yang berada dibawahnya. Jadi, menurut Shadra jiwa adalah entelechy badan jasmaniah yang bekerja melalui fakultas-fakultas yang disebut organ, tetapi yang dimaksud Shadra bukanlah organ fisik seperti tangan, perut dan sebaginya, melainkan dengan fakultas-fakultas atau daya-daya yang dengan perantaranya jiwa dapat bekerja. Selanjutnya menurut Shadra jiwa itu bersandar kepada prinsip dasar yang disebut perubahan substantif.
 Pada umumnya jiwa itu bersifat jasmaniah, tetapi akhirnya bersifat spiritual selamanya artinya manakala jiwa itu muncul diatas landasan materi, bukanlah jiwa itu materi secara absolute. Tumbuh-tumbuhan meskipun ia bergantung kepada materi, tetapi tidak dapat sepenuhnya dikatakan sepenuhnya bersifat materi. Materi atau tubuh itu hanyalah instrument dan merupakan langkah pertama untuk berpindah dari alam materi menuju alam sepiritual. Baik jiwa manusia ataupun jiwa hewan sama-sama memiliki kemampuan untuk melepaskan diri dari badannya.

c.        Moral
            Agama islam diturunkan oleh Allah kepada manusia dengan tujuan untuk membimbing mereka memperoleh kebahagiaan tertingga dengan jalan menciptakan keseimbangan, baik tingkat individu maupun social. Hal ini mengandung arti bahwa manusia yang diciptakan oleh Dzat Yang Maha Sempurna, harus mengetahui cara mengaktualisasikan seluruh kemampuannya. Berkaitan dengan kebahagiaan ini menyatakan bahwa kebahagiaan itu tergantung kepada kesempurnaan jiwa dalam peoses inteleksi. Dan bahwa pengetahuan dalam mengalih bentuk orang yang tahu dalam proses trans-substansinya meuju kesempurnaan.
Menurut prinsip trens-substansi, substansi wujud di dunia itu mengalami transpormasi terus-menerus dengan menempatkan manusia sebagai pusat domain dunia. Berkaitan dengan keadilan (‘adalah), tidak dapat dipisahkan dengan konsep keseimbangan (i’tidal). Bagi Mulla Shadra, kedua konsep itu dikaitkan dengan puncak kesempurnaan jiwa manusia dan persoalan-persoalan etika di dalam filsafat, tasawuf. syari’ah dan sebaginya.

BAB III
PENUTUPAN

3.1. Kesimpulan
             Mulla Shadra merupakan seorang filsuf muslim yang cukup produktif, kreatif dan orisinal dengan karya-karya yang begitu banyak, mencakup berbagi bidang ditulis baik dengan bahasa Arab maupun bahasa Persia. Diantara pembahasan filsafat yang paling utamanya antara lain tentang  teori pengetahuan atau epistemologi Mulla Shadra  membahas masalah pengetahuan dan hubungan yang diketahui serta yang mengetahui, metafisika  mulla Shadra yang menbahas masalah kesatuan transeden wujud (wahdah al-wujud), Gerakan subtansial, Masalah jiwa, moral dan lain sebagainya. 
                    

Senin, 05 Desember 2011

tafsir kejujuran dan moral


BAB I 
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Kejayaan islam adalah peradaban yang paling lama dalam sejarah dunia tak ada yang dapat menandinginya lama kurun waktu dalam kekusaan islam sehingga sepertiga dunia dikuasai oleh islam. Maka untuk membangun kembali kejayaan islam pada zaman sekarang kita harus tahu apa kunci dari kesuksesan kajayaan islam dimasa silam. Itu karena orang islam menjauhkan dirinya dari Al-qura’an dan sunnah Rosul.
Maka  untuk membangun kembali islam sesuai dengan yang di tauladankan oleh rosulullah kapada kejujuran dan moralitas. Sekarang inilah krisis yang dihadapi dunia tentang kemerosotan akhlak yang semakin menjauh dari syari’at yang ada. Untuk membangun kembali dunia yang cinta damai dengan kejujuran dan moral yang terpatri dalam diri setiap orang.

1.2. Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian kejujuran dalam islam dan tinjauan tafsir tentang jujur? 
2.      Apa pengertian moral dan tijauan tafsir?
3.      Apa manfaat kejujuran dan moral?
  

 BAB II
PEMBAHASAN


2.1. Pengertian Kejujuran
            Kata kejujuran digunakan pada enam tempat, yaitu kebenaran dalam perkataan, kebenaran dalam niat, kehendak, kebenaran dalam tekad, kebenaran dalam mengetahui kebenaran, kebenaran dalam mewujudkan kebenaran agama. dengan demikian barang siapa  yang memiliki sifat jujur dalam segala hal dia adalah orang siddiq, karena dia bersifat benar kepada dirinya sesuai dengan sifat-sifat yang dimilikinya. Jujur kepada Allah tentang dirimu, jujur kepada dirimu sendiri.. Jika engkau sering beristighfar maka Engkau jujur mengakui kesalahanmu itu. Jika engkau selalu memuji Allah, maka engkau mengakui bahwa tiada yang patut dipuji selain Allah. Allah berfirman dalam al-qur’an Al-ahzab 23 sebagai berikut:
z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# ×A%y`Í (#qè%y|¹ $tB (#rßyg»tã ©!$# Ïmøn=tã ( Nßg÷YÏJsù `¨B 4Ó|Ós% ¼çmt6øtwU Nåk÷]ÏBur `¨B ãÏàtF^tƒ ( $tBur (#qä9£t/ WxƒÏö7s? ÇËÌÈ  
23. Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah, maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya).
Berdasarkan ayat diatas mengatakan diantara orang mukmin yang sempurna imannya ada tokoh-tokoh yang demikian hebat kedudukannya disisi Allah. Mereka adalah yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah yaitu berjuang membela agama dan mematuhi Rosul-Nya. Kata (rijalun) biasa diterjemahkan dengan laki-laki. Namun tidak selalu harus dipahami demikian. Ia terambil dari kata (ar-rajl) yang berarti kuat. Dari sini al-qur’an tidak selalu menggunakannya untuk jenis kelamin tertentu, ia juga menunjukan tokoh-tokoh dan orang-orang terkemukan yang memiliki kekuatan mental dan sifat-sifat terpuji.
Kata (nah’bahu) terambil dari kata (an-nahb) yang pada mulanya berarti nazar dan apa yang ditetapkan seseorang atas dirinya untuk dia lakukan. Kalimat (qadha nahbahu) berarti memenuhi janji. Para ulama memahami kalimat ini sebagai kiasan dari makna kematian dan perolehan syuhada. Ini karea setiap mu’min dimedan perang bertekad meraih kemenangan atau gugur sebagai syuhada.
Nabi bersabda: Sesungguhnya kejujuran itu menyebabkan kebajikan dan kebajikan menyebabkan masuk syurga. Ada orang yang suka berkata jujur sehingga ditetapkan sebagai seorang siddiq disisi Allah Swt. Dan kebohongan itu menyebabkan masuk neraka. Ada orang yang suka berbohong sehingga ditetapkan disisi Allah Swt sebagai pembohong. Inilah pangkal kejujuran dan makna dari firman Allah Azza wa Jalla surat ar-ra’du:
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä ûÈõuKôÜs?ur Oßgç/qè=è% ̍ø.ÉÎ/ «!$# 3 Ÿwr& ̍ò2ÉÎ/ «!$# ûÈõyJôÜs? Ü>qè=à)ø9$# ÇËÑÈ   šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# 4n1qèÛ óOßgs9 ß`ó¡ãmur 5>$t«tB ÇËÒÈ  
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.” Mulai sekarang hendaknya engkau konsisten dengan kejujuran itu meskipun berhadapan dengan siapa pun. Jangan sekali-kali berdusta atau membohongi orang lain karena Allah Maha tahu. Dia akan membuat perhitungan denganmu tentang hal itu. Ingatlah Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam berkata                                                                                           ,
“Kejujuran itu adalah ketenangan, sementara kebohongan adalah kegelisahan” (HR.Bukhri)
Saat berbuat jujur (terhadap Allah dan dirimu sendiri), engkau akan merasa tenang dan tenteram. Demikian pula ketika engkau jujur terhadap orang lain. Tetapi tatkala berbuat dosa atau mengkhianati orang maka hatimu menjadi gelisah. Tinggalkan kegelisahan itu beristighfalah lalu, bersikaplah jujur. Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam bersab“Apabila seorang hamba berbohong , Malaikat yang menyertainya akan menjauh sekitar satu mil karena bau busuk perbuatannya” (HR. At-turmudzi). Jika Malaikat menjauh, artinya hilanglah rahmat Allah. Lalu, pastilah Allah murka kepadamu, setelah itu yang akan mendekatimu adalah syaitan . Karena itu berhati-hatilah, jangan berbohong. Sebab kebaikan datang bersama saudaranya (kejujuran). Demikian pula dengan keburukan, ia datang bersama saudaranya. Selanjutnya, untuk melatih kejujuran ini Rasulullah saw barsabda                         
“Berikan jaminan kepadaku dengan enam hal dari dirimu dan aku menjamin surga untukmu: jujurlah jika berbicara, tepatilah jika berjanji, tunaikanlah jika diserahi amanah, jagalah kemaluanmu, jagalah pandanganmu, dan jagalah tanganmu” (HR. Ahmad).

Allah berfirman dalam surat an-nisa ayat 170:
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# ôs% ãNä.uä!$y_ ãAqߧ9$# Èd,ysø9$$Î/ `ÏB öNä3În/§ (#qãZÏB$t«sù #ZŽöyz öNä3©9 4 bÎ)ur (#rãàÿõ3s? ¨bÎ*sù ¬! $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 4 tb%x.ur ª!$# $·KÎ=tã $VJŠÅ3ym ÇÊÐÉÈ  
Terjemahannya:
“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, maka berimanlah kamu, itulah  yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikit pun) karena sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah.  Dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.”
            Berdasarkan terjemahan bahwa Allah SWT memerintahkan seluruh manusia agar beriman kepada Rosulullah. Artinya, kedatangan berupa syariat itu sendiri adalah suatu kebenaran. Seorang yang berakal akan mengetahui bahwa tetapnya orang dalam kejahilan mereka bingung dalam kekufuran mereka dan terus didera kebimbangan. Di antara hikmah dan rahmat-Nya yang agung mengutus Rasul kepada mereka sendiri agar mengajarkan kepada mereka petunjuk dari kesesatan, dan menyimpang dari jalan lurus. Maka dengan hanya memandang pada kerasulannya itu adalah sebuha dalil yang kuat akan kebenaran kenabiannya. Demikain juga memperhatikan apa yang di bawa olehnya syariat yang agung dan jalan yang lurus. Akhlak terpuji dan tercela datangnya dari Allah dan setiap kali ilmu seseorang hamba bertambah karena-Nya, akan bertambah pula keimanan dan keyakinannya. Maka inilah sebab yang mendorong kepada keimanan.
Maka iman lebih baik bagi kaum mukmin pada tubuh, hati, jiwa mereka, dunia dan akhirat mereka. Yang demikian itu karena pengaruh yang diakibatkan olehnya, berupa kemaslahatan maupun manfaat. Setiap balasan yang segera atau tertunda, adalah buah dari keimanan. Kemenangan, petunjuk, ilmu, amal shalih, kebahagian, kesenangan dan surga dan apa yang terkandung di dalamnya berupa kenikmatan, semua itu adalah sebab dari Iman, sebagaimana kesengsaraan duniawi dan ukhrawi adalah karena tidak adanya keimanan atau kekurangan Iman. Bahwa seorang hamba itu tidaklah memudharatkan kecuali dirinya sendiri. Allah tidak membutuhkan dirinya, karena kemaksiatan seorang pelaku maksiat tidaklah akan memudharakanNya.
Bani Israil mengingkari janjinya dengan Allah al-baqarah: 83
øŒÎ)ur $tRõs{r& t,»sVÏB ûÓÍ_t/ Ÿ@ƒÏäÂuŽó Î) Ÿw tbrßç7÷ès? žwÎ) ©!$# Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $ZR$|¡ômÎ) ÏŒur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ6»|¡uKø9$#ur (#qä9qè%ur Ĩ$¨Y=Ï9 $YZó¡ãm (#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qŸ2¨9$# §NèO óOçFøŠ©9uqs? žwÎ) WxŠÎ=s% öNà6ZÏiB OçFRr&ur šcqàÊ̍÷èB ÇÑÌÈ  
83. Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.
2.2. Ajaran Moral
Adapun arti moral dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti kebiasaan. Di dalam kamus umum bahasa Indonesia dikatan bahwa moral adalah penentuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan. Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk. Berdasarkan kutipan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah. Allah berfirman dalam Al-qur’an beberapa peringatan dan ajaran tentang moral dalam surat thaha ayat 128
öNn=sùr& Ïöku öNçlm; öNx. $uZõ3n=÷dr& Nßgn=ö7s% z`ÏiB Èbrãà)ø9$# tbqà±øÿs Îû öNÍkÈ]Å3»|¡tB 3 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy Í<'rT[{ 4sSZ9$# ÇÊËÑÈ  
128. Maka tidakkah menjadi petunjuk bagi mereka (kaum musyrikin) berapa banyaknya Kami membinasakan umat-umat sebelum mereka, padahal mereka berjalan (di bekas-bekas) tempat tinggal umat-umat itu?. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.
Penafsiran kata afalam yahdi lahum: apakah tidak memberi pelajaran dengan jelas kepada mereka, li’ulin-nuha: bagi orang-orang yang mempunyai akal. Apakah tidak membuat mereka mengambil pelajaran, kami telah membinasakan banyak umat terdahulu yang mereka lalui pada waktu pagi dan malam, seperti ad’ dan samud, yang mereka dapat menyaksikan bekas-bekas yang menunjukan bahwa umat-umat itu pernah bergelimangan nik’mat, kemudian ditimpa berbagai bencana. Apakah mereka tidak mengambil pelajaran darinya, sehingga ingat dan beriman kepada Allah dan rasul-Nya, karena takut dengan kekefirannya mereka ditimpa bencana seperti yang pernah menimpa umat-umat terdahulu.
            Pelajaran yang diambil dari menyaksika, mereka mengatakan,”pengalaman tidak seperti berita,” dan ,”tidaklah orang yang melihat seperti orang yang mendengar.”. menyaksikan dan melihat akibat peristiwa yang menimpa umat-umat terdahulu, yang mereka lalui dalam perjalnan dan hardikan kepada mereka jika mereka mau memikirkannya. Kemudian Allah berfirman menyajikan alasan hardikan dan pengingkaran ini dengan firman-Nya: artinya“ sesungguhnya bekas-bekas bencana yang mereka lihat, yang kami timpakan kepada umat-umat pendusta para rasul karena kekufurannya, terdapat pelajaran bagi orang-orang berakal yang dilarang oleh agama dan dicela oleh akalnya untuk melakukan apa yang membahayakan.”     
Pokok-pokok kebajikan dalam surat al-baqarah:177
* }§øŠ©9 §ŽÉ9ø9$# br& (#q9uqè? öNä3ydqã_ãr Ÿ@t6Ï% É-ÎŽô³yJø9$# É>̍øóyJø9$#ur £`Å3»s9ur §ŽÉ9ø9$# ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#ur É=»tGÅ3ø9$#ur z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur tA#uäur tA$yJø9$# 4n?tã ¾ÏmÎm6ãm ÍrsŒ 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur tûüÅ3»|¡yJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# tû,Î#ͬ!$¡¡9$#ur Îûur ÅU$s%Ìh9$# uQ$s%r&ur no4qn=¢Á9$# tA#uäur no4qŸ2¨9$# šcqèùqßJø9$#ur öNÏdÏôgyèÎ/ #sŒÎ) (#rßyg»tã ( tûïÎŽÉ9»¢Á9$#ur Îû Ïä!$yù't7ø9$# Ïä!#§ŽœØ9$#ur tûüÏnur Ĩù't7ø9$# 3 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# (#qè%y|¹ ( y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)­GßJø9$# ÇÊÐÐÈ  
177. Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.
Mereka itula orang-orang yang benar (imannya) dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Qatadah menerangkan tentang kaum yahudi yang menganggap bahwa yang baik itu shalat menghadap ke barat, sedang kaum Nashara
 mengarah ke timur, sehingga turunlah ayat tersebut di atas. (Diriwayatkan oleh Abdur-razzaq dari Ma'mar, yang bersumber dari Qatadah. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Abil 'Aliyah.). Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa turunnya ayat ini sehubungan dengan pertanyaan seorang laki-laki yang ditujukan kepada Rasulullah SAW tentang "al-Bir" (kebaikan). Setelah turun ayat tersebut di atas. Rasulullah SAW memanggil kembali orang itu, dan dibacakannya ayat tersebut kepada orang tadi. Peristiwa itu terjadi sebelum diwajibkan shalat fardhu. Pada waktu itu apabila seseorang telah mengucapkan "Asyhadu alla ilaha illalah, wa asyhadu anna Muhammadan 'Abduhu wa rasuluh", kemudian meninggal disaat ia tetap iman, harapan besar ia mendapat kebaikan. Akan tetapi kaum yahudi menganggap yang baik itu ialah apabila shalat mengarah ke barat, sedang kaum nashara mengarah ketimur. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Mundzir yang bersumber dari Qatadah.).
 Imam Al-Ghazali menegaskan, sumber akhlak Islam hendaklah berdasarkan 3 sumber berikut:
1.      Kitab suci Al-Quran
2.      Hadis-hadis Rasulullah
3.      Akal fikiran ulama’.
Kesadaran moral serta pula hubungannya dengan hati nurani yang dalam bahasa arab disebut dengan qalb, fu'ad. Dalam kesadaran moral mencakup tiga hal. Pertama, perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan yang bermoral. Kedua, kesadaran moral dapat juga berwujud rasional dan objektif, yaitu suatu perbuatan yang secara umum dapat diterima oleh masyarakat, sebagai hal yang objektif dan dapat diberlakukan secara universal, artinya dapat disetujui berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi setiap orang yang berada dalam situasi yang sejenis. Ketiga, kesadaran moral dapat pula muncul dalam bentuk kebebasan.

2.3. Manfaat Memepelajari Kejujuran dan Moral
1.      Menjadikan diri sebagai peribadi qur’ani.
2.      Menjadikan diri pribadi yang bersahaja, seperti yang dicontohkan Rosulullah.
3.      Lebih mudah bergaul dan dipercaya oleh semua orang.
4.      Dihargai dan disukai karena keperibadiannya.
5.      Mengeti akan moral manusia dan yang ada dimasyarakat.
6.      Menjauhkan diri dari siksa api neraka.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
            Kata kejujuran digunakan pada enam tempat, yaitu kebenaran dalam perkataan, kebenaran dalam niat, kehendak, kebenaran dalam tekad, kebenaran dalam mengetahui, kebenaran dalam mewujudkan dalam mewujudkan kebenaran agama. Moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah.
Banyak sekali manfaat yang bisa kita petik diantaranya: menjadikan diri sebagai peribadi qur’ani, menjadikan diri pribadi yang bersahaja, seperti yang dicontohkan Rosulullah. Kejujuran dan moral membentuk seseorang untuk menjauhi sifat kerusakan, kezhaliman, melampau batas, akhlak yang jelek, berdusta dan durhaka dan sebagainya, yang secara pasti dan sangat menyakinkan bahwa datangnya dari Allah dan sebagainya, baik tentang kujujuran atau moral dalam diri seseorang hamba bertambah karenanya akan bertambah  pula keimanan dan kayakinannya
DAFTAR PUSTAKA

Al-ghazali, imam. 2007. Ihya ulumuddin. Bintang terang: Jakarta
Al-maragi, ahmad Mustafa. 1993. Tafsir al-maragi. Toha putra: Semarang
Anonim.  2005. Tafsir as-Sa’di Juz  6, Mesir : Ar-Russ
Depag RI, 2006. Al-Qur’an dan Terjemahannya:  Jakarta 
Katsir, ibnu. Tafsir ibnu katsir. Bina ilmu: Surabaya
Shihab, m.quraish. 2002. Tafsir al-misbah vol-10. Lentera Hati : Jakarta